Film berjudul “30SPKI” atau yang lebih dikenal sebagai “Pengkhianatan G30S/PKI” merupakan salah satu film paling kontroversial dan monumental dalam sejarah perfilman Indonesia. Diproduksi pada masa Orde Baru, film ini tidak hanya dimaksudkan sebagai karya sinema, tetapi juga sebagai alat edukasi dan propaganda yang kuat.
Dalam artikel ini, kita akan mengenal lebih dalam tentang film 30SPKI—latar belakang pembuatannya, isi cerita, dampaknya terhadap masyarakat Indonesia, serta kontroversi yang menyertainya hingga saat ini.
1. Latar Belakang Sejarah
Film “Pengkhianatan G30S/PKI” pertama iam-love.co kali dirilis pada tahun 1984 di bawah arahan sutradara Arifin C. Noer, atas perintah langsung dari Pemerintah Orde Baru yang saat itu dipimpin oleh Presiden Soeharto. Film ini dibuat berdasarkan peristiwa Gerakan 30 September 1965, sebuah kudeta militer yang diklaim dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), yang menyebabkan pembunuhan tujuh perwira tinggi militer Indonesia.
Pasca peristiwa ini, terjadi pergantian kekuasaan yang mengantarkan Soeharto ke tampuk kepemimpinan nasional. Oleh karena itu, film ini diproduksi dalam konteks mendukung narasi pemerintah bahwa PKI adalah aktor utama di balik kekerasan tersebut.
2. Alur Cerita Film
Film ini berdurasi lebih dari 4 jam, menjadikannya salah satu film terpanjang dalam sejarah perfilman Indonesia. Alurnya mengikuti rekonstruksi kronologis dari:
-
Rencana dan persiapan kudeta oleh PKI dan organisasi underbow-nya.
-
Penculikan dan pembunuhan para jenderal TNI AD di malam 30 September 1965.
-
Pembuangan mayat ke Lubang Buaya, Jakarta.
-
Operasi militer yang berhasil menggagalkan kudeta.
-
Penangkapan dan eksekusi tokoh-tokoh PKI.
Film ini menampilkan adegan-adegan dramatis yang menggambarkan kekejaman para pelaku G30S/PKI, termasuk adegan penyiksaan terhadap para jenderal—adegan yang kemudian menjadi sorotan utama dalam polemik sejarah.
3. Tujuan dan Fungsi Propaganda
Tidak dapat dipungkiri bahwa film ini dibuat dalam konteks mengedukasi sekaligus membentuk opini publik terhadap PKI dan peristiwa G30S. Sejak 1984 hingga akhir Orde Baru, film ini wajib ditonton setiap tanggal 30 September melalui siaran televisi nasional (TVRI) dan kegiatan nonton bareng di sekolah-sekolah serta instansi pemerintahan.
Film ini sukses membentuk persepsi masyarakat bahwa PKI adalah ancaman utama terhadap negara dan Pancasila, serta memperkuat legitimasi pemerintahan Soeharto. Dalam hal sinematik, film ini juga menjadi standar film sejarah bertema militer dengan skala produksi besar.
4. Kontroversi dan Kritik
Setelah reformasi 1998 dan tumbangnya Orde Baru, film ini mulai mendapat kritik keras dari sejarawan, sineas, hingga aktivis HAM. Beberapa kritik utama yang muncul antara lain:
-
Ketidakakuratan sejarah: Banyak sejarawan menyebut bahwa film ini menyajikan narasi sepihak tanpa menyertakan banyak versi atau sudut pandang dari tokoh-tokoh yang dituduh terlibat.
-
Adegan kekerasan yang tidak terverifikasi: Adegan penyiksaan yang sangat grafis terhadap para jenderal tidak sepenuhnya didukung oleh data otopsi medis.
-
Stigmatisasi terhadap kelompok kiri dan keluarga korban: Film ini memperkuat stereotip negatif terhadap orang-orang yang dituduh simpatisan PKI, termasuk anak cucunya, yang mengalami diskriminasi bertahun-tahun.
Seiring terbukanya ruang demokrasi pasca reformasi, pemutaran wajib film ini dihapuskan, dan diskursus tentang peristiwa G30S/PKI pun menjadi lebih beragam.
5. Dampak terhadap Generasi Muda dan Budaya Populer
Bagi generasi 1980–1990-an, film 30SPKI meninggalkan kesan yang sangat kuat. Banyak yang mengaku merasa trauma dan takut setelah menonton film ini di masa kecil. Hal ini menunjukkan betapa besar kekuatan visual dalam membentuk persepsi.
Di era digital sekarang, banyak konten kreator, penulis, dan akademisi yang mengulas film ini dari perspektif baru. Film ini pun menjadi objek studi film politik, psikologi propaganda, dan sejarah media.
6. Upaya Reinterpretasi dan Edukasi Kritis
Pasca reformasi, muncul banyak film dokumenter tandingan, seperti “Mass Grave” atau “The Act of Killing” karya Joshua Oppenheimer, yang mencoba membalikkan narasi dan menampilkan sisi lain dari peristiwa 1965, terutama dari korban dan keluarganya.
Selain itu, muncul pula diskusi terbuka di kampus-kampus dan ruang publik yang mengajak masyarakat untuk melihat film “30SPKI” bukan hanya sebagai fakta tunggal, tapi sebagai bagian dari proses pencitraan politik dan pembentukan sejarah versi penguasa.
Kesimpulan
BACA JUGA: 5 Film Thailand Terseram yang Wajib Ditonton para Penggemar Horor
Film “30SPKI” adalah salah satu karya paling berpengaruh dalam sejarah perfilman Indonesia. Ia bukan hanya media hiburan atau informasi, melainkan alat narasi kekuasaan yang membentuk pemahaman kolektif bangsa terhadap peristiwa sejarah yang kelam.
Meski begitu, penting bagi kita—terutama generasi muda—untuk menontonnya dengan kritis dan kontekstual, memahami latar belakang politik di balik produksinya, serta membuka diri pada berbagai versi sejarah yang lebih objektif dan inklusif.
Melalui cara ini, kita tidak hanya mengenal filmnya, tetapi juga memahami bagaimana sejarah bisa dikonstruksi, dan pentingnya kebebasan berpikir dalam melihat masa lalu bangsa.